PALANGKA RAYA - Seiring dengan semakin dekatnya pelaksanaan pesta demokrasi rakyat di daerah ini untuk memilih pemimpinnya melalui mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), semakin banyak pula para kandidat yang bermunculan di ruang publik, baik itu mencalonkan diri sendiri maupun dicalonkan pihak lain.
Seyogyanya kemunculan banyaknya kandidat tersebut tentu tak boleh membuat rakyat pemilih kebingungan untuk menyaring siapa yang layak dan memiliki kualitas untuk maju bertanding, berkompetisi mengikuti pemilihan sebagai pemimpin daerah melalui kontestasi pilkada.
Salah satu cara untuk menggali mendalami keinginan publik terkait kualitas calon pemimpin yang layak mengikuti pilkada adalah dengan mengadakan survei, namun, sayangnya, entah kenapa hasil survei antar lembaga penyelenggara tak jarang berbeda satu sama lain sehingga masih ada potensi membingungkan para pemilih.
Selain itu, ada mekanisme formal yang (dianggap) mewakili suara hati publik, yaitu pemilihan para kandidat yang dilakukan oleh partai politik, berdasarkan berbagai aturan dan pertimbangan pada masing masing partai, yang selanjutnya diajukan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk ditetapkan sebagai calon kepala daerah yang berhak mengikuti kontestasi, namun tetap saja ada kemungkinan para pemilih tak sepenuhnya mengenal serta mengetahui kualitas para calon yang diajukan partai (karena muncul tampil secara utuh hanya saat debat yang biasanya diadakan oleh KPU)
Intinya adalah, mekanisme penetapan para calon peserta pilkada bisa saja tak cukup memungkinkan publik untuk lebih mengenal secara utuh para calon yang muncul.
Tak ada yang salah dengan berbagai mekanisme dan tata cara yang telah ada, meski demikian, tak salah pula jika itu ditambahkan (dilengkapi) dengan cara lain agar publik dapat lebih terlibat mengamati, mencermati dan mengenal secara utuh para calon yang berminat, sebelum mereka diusulkan oleh partai politik dan ditetapkan oleh KPU setempat.
Barangkali, salah satu cara untuk menampilkan para bakal calon peserta pilkada agar dapat dikenal publik secara (lebih) utuh adalah, para stake holder terkait dapat bekerjasama mengadakan kegiatan mengundang dan mengajak mereka (para bakal calon peserta pilkada) untuk diskusi terbuka pada mimbar yang diketahui publik secara luas.
Setiap orang (bakal calon peserta pilkada) tentu bisa membuat jargon slogan politik, namun belum tentu mampu menjalani dan melakoninya, oleh karena itu tentu diperlukan 'alat' pendukung untuk 'menjamin' tercapainya jargon slogan politik tersebut yaitu INTEGRITAS, INTELEKTUALITAS dan STANDAR ETIKA yang mumpuni.
Seorang kepala daerah itu seyogyanya mutlak harus memiliki rekam jejak INTEGRITAS, INTELEKTUALITAS, dan STANDAR ETIKA yang mumpuni serta bisa dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan publik.
Untuk itu, rekam jejak terkait INTEGRITAS, INTELEKTUALITAS, dan STANDAR ETIKA para bakal calon peserta pilkada adalah beberapa topik yang bisa dikedepankan, dibahas dan dikupas dalam diskusi publik terbuka, sebagai syarat untuk menjadi seorang kepala daerah.
Eldoniel Mahar
- Politisi PSI
- Kader paripurna PSI
- Cucu Mahir Mahar (pendiri Kalteng)
- Cicit Hausman Baboe (tokoh pergerakan Dayak)***
Baca juga:
Tony Rosyid: Plus Minus NU Dukung Anies
|